ALIRAN JABARIYAH
A. PENGERTIAN JABARIYAH
Sebelum kita
memahami dan mengenal lebih dalam mengenai sejarah kemunculan aliran
Jabariyah ini, perlu saya paparkan pengertian dari kata Jabariyah itu
sendiri, baik secara etimologi maupun sacara terminologi. Kata Jabariyah
berasal dari kata Jabara dalam bahasa Arab yang mengandung arti memaksa
dan mengharuskan melakukan sesuatu. (Abdul Razak, 2009 : 63).
Pengertian
arti kata secara etimologi diatas telah dipahami bahwa kata jabara
merupakan suatu paksaan di dalam melakukan setiap sesuatu. Atau dengan
kata lain ada unsur keterpaksaan. Kata Jabara setelah berubah menjadi
Jabariyah (dengan menambah Yaa’ nisbah) mengandung pengertian bahwa
suatu kelompok atau suatu aliran (isme). Ditegaskan kembali dalam
berbagai referensi yang dikemukakan oleh Asy-Syahratsan bahwa paham
Al-Jabar berarti menghilangkan perbuatan manusia dalam arti sesungguhnya
dan menyandarkannya kepada Allah, dengan kata lain, manusia mengerjakan
perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Dalam referensi Bahasa Inggris,
Jabariyah disebut Fatalism atau Predestination. Yaitu paham yang
menyebutkan bahwa perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh
qadha’ dan qadar Allah. (Harun Nasution, 1986 : 31)
Dapat Kita
simpulkan bahwa aliran Jabariyah adalah aliran sekelompok orang yang
memahami bahwa segala perbuatan yang mereka lakukan merupakan sebuah
unsur keterpaksaan atas kehendak Tuhan dikarenakan telah ditentukan oleh
qadha’ dan qadar Tuhan. Jabariah adalah pendapat yang tumbuh dalam
masyarakat Islam yang melepaskan diri dari seluruh tanggungjawab. Maka
Manusia itu disamakan dengan makluk lain yang sepi dan bebas dari
tindakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan kata lain, manusia itu
diibaratkan benda mati yang hanya bergerak dan digerakkan oleh Allah
Pencipta, sesuai dengan apa yang diinginkan-Nya. Dalam soal ini manusia
itu dianggap tidak lain melainkan bulu di udara dibawa angin menurut
arah yang diinginkan-Nya. Maka manusia itu sunyi dan luput dari ikhtiar
untuk memilih apa yang diinginkannya sendiri.
B. SEJARAH KEMUNCULAN ALIRAN JABARIYAH
Mengenai asal usul serta akar kemunculan aliran Jabariyah ini tidak lepas dari beberapa faktor. Antara lain :
1. Faktor Politik
Pendapat
Jabariah diterapkan di masa kerajaan Ummayyah (660-750 M). Yakni di
masa keadaan keamanan sudah pulih dengan tercapainya perjanjian antara
Muawiyah dengan Hasan bin Ali bin Abu Thalib, yang tidak mampu lagi
menghadapi kekuatan Muawiyah. Maka Muawiyah mencari jalan untuk
memperkuat kedudukannya. Di sini ia bermain politik yang licik. Ia ingin
memasukkan di dalam pikiran rakyat jelata bahwa pengangkatannya sebagai
kepala negara dan memimpin ummat Islam adalah berdasarkan "Qadha dan
Qadar/ketentuan dan keputusan Allah semata" dan tidak ada unsur manusia
yang terlibat di dalamnya.
Golongan Jabariyah pertama kali muncul di
Khurasan (Persia) pada saat munculnya golongan Qodariyah, yaitu
kira-kira pada tahun 70 H. Aliran ini dipelopori oleh Jahm bin Shafwan,
aliran ini juga disebut Jahmiyah. Jahm bin Shafwan-lah yang mula-mula
mengatakan bahwa manusia terpasung, tidak mempunyai kebebasan apapun,
semua perbuatan manusia ditentukan Allah semata, tidak ada campur tangan
manusia.
Paham Jabariyah dinisbatkan kepada Jahm bin Shafwan karena
itu kaum Jabariyah disebut sebagai kaum Jahmiyah, Namun pendapat lain
mengatakan bahwa orang yang pertama mempelopori paham jabariyah adalah
Al-Ja'ad bin Dirham, dia juga disebut sebagai orang yang pertama kali
menyatakan bahwa Al-Quran itu makhluq dan meniadakan sifat-sifat Allah.
Disamping itu kaum Jahmiyah juga mengingkari adanya ru'ya (melihat Allah
dengan mata kepala di akhirat). Meskipun kaum Qadariyah dan Jahmiyah
sudah musnah namun ajarannya masih tetap dilestarikan. Karena kaum
Mu'tazilah menjadi pewaris kedua pemahaman tersebut dan mengadopsi
pokok-pokok ajaran kedua kaum tersebut. Selanjutnya ditangan Mu'tazilah
paham-paham tersebut segar kembali. Sehingga Imam As-Syafi'i menyebutnya
Wasil, Umar, Ghallan al-Dimasyq sebagai tiga serangkai yang seide
itulah sebabnya kaum Mu'tazilah dinamakan juga kaum Qadariyah dan
Jahmiyah.
Disebut Qadariyah karena mereka mewarisi isi paham mereka
tentang penolakan terhadap adanya takdir, dan menyandarkan semua
perbuatan manusia kepada diri sendiri tanpa adanya intervensi Allah.
Disebut Jahmiyah karena mereka mewarisi dari paham penolakan mereka yang
meniadakan sifat-sifat Allah, Al-quran itu Makhluk, dan pengingkatan
mereka mengenai kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala di hari
kiamat.
Berkaitan dengan hal ini, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa
sebagai pengikut Mu'tazilah adalah Jahmiyah tetapi tidak semua Jahmiyah
adalah Mu'tazilah, karena kaum Mu'tazilah berbeda pendapat dengan kaum
Jahmiyah dalam masalah Jabr (hamba berbuat karena terpaksa). Kalau kaum
Mu'tazilah menafikanya maka kaum Jahmiyah meyakininya.
2. Faktor Geografi
Para
ahli sejarah pemikiran mengkaji melalui pendekatan geokultural bangsa
Arab. Kehidupan bangsa Arab yang dikungkung oleh gurun pasir sahara
memberikan pengaruh besar ke dalam cara hidup mereka. Ketergantungan
mereka kepada alam sahara yang ganas telah memunculkan sikap penyerahan
diri terhadap alam. Situasi demikian, bangsa Arab tidak melihat jalan
untuk mengubah keadaan sekeliling mereka sesuai dengan keingianan mereka
sendiri. Mereka merasa lemah dalam menghadapi kesukaran-kesukaran
hidup. Akhirnya, mereka banyak bergantung kepada sikap Fatalisme.
C. TOKOH-TOKOH SERTA DOKTRIN AJARAN
1. Ja'd Bin Dirham
Ia adalah seorang hamba dari bani Hakam dan tinggal di Damsyik. Ia dibunuh pancung oleh Gubernur Kufah yaitu khalid bin Abdullah El-Qasri.
Pendapat-pendapatnya :
a. Tidak pernah Allah berbicara dengan Musa sebagaimana yang disebutkan oleh Alqur'an surat An-Nisa ayat 164.
b. Bahwa Nabi Ibrahim tidak pernah dijadikan Allah kesayangan Nya menurut ayat 125 dari surat An-Nisa.
2. Jahm bin Shafwan
Ia bersal dari Persia dan meninggal tahun 128 H dalam suatu peperangan di Marwan dengan Bani Ummayah. Pendapat-pendapatnya:
a. Bahwa keharusan mendapatkan ilmu pengetahuan hanya tercapai dengan akal sebelum pendengaran. Akal dapat mengetahui yang baik dan yang jahat hingga mungkin mencapai soal-soal metafisika dan ba'ts/dihidupkan kembali di akhirat nanti. Hendaklah manusia menggunakan akalnya untuk tujuan tersebut bilamana belum terdapat kesadaran mengenai ketuhanan.
c.
Iman itu adalah pengetahuan mengenai kepercayaan belaka. Oleh sebab itu
iman itu tidak meliputi tiga oknum keimanan yakni kalbu, lisan dan
karya. Maka tidaklah ada perbedaan antara manusia satu dengan yang
lainnya dalam bidang ini, sebab ia adalah semata pengetahuan belaka
sedangkan pengetahuan itu tidak berbeda tingkatnya.
d. Tidak memberi
sifat bagi Allah yang mana sifat itu mungkin diberikan pula kepada
manusia, sebab itu berarti menyerupai Allah dalam sifat-sifat itu. Maka
Allah tidak diberi sifat sebagai satu zat atau sesuatu yang hidpu atau
alim/mengetahui atau mempunyai keinginan, sebab manusia memiliki
sifat-sifat yang demikian itu. Tetapi boleh Allah disifatkan dengan
Qadir/kuasa, Pencipta, Pelaku, Menghidupkan, Mematikan sebab sifat-sifat
itu hanya tertentu untuk Allah semata dan tidak dapat dimiliki oleh
manusia.
Diantara ciri-ciri ajaran Jabariyah adalah :
1. Bahwa manusia tidak mempunyai kebebasan dan ikhtiar apapun, setiap perbuatannya baik yang jahat, buruk atau baik semata Allah semata yang menentukannya.
2. Bahwa Allah tidak mengetahui sesuatu apapun sebelum terjadi.
3. Ilmu Allah bersifat Huduts (baru)
4. Iman cukup dalam hati saja tanpa harus dilafadhkan.
5. Bahwa Allah tidak mempunyai sifat yang sama dengan makhluk ciptaanNya.
6.
Bahwa surga dan neraka tidak kekal, dan akan hancur dan musnah bersama
penghuninya, karena yang kekal dan abadi hanyalah Allah semata.
7. Bahwa Allah tidak dapat dilihat di surga oleh penduduk surga. 8. Bahwa Alqur'an adalah makhluk dan bukan kalamullah
E. PENOLAKAN TERHADAP PAHAM JABARIYAH
Kelompok
jabariyah adalah orang-orang yang melampaui batas dalam menetapkan
takdir hingga mereka mengesampingkan sama sekali kekuasaan manusia dan
mengingkari bahwa manusia bisa berbuat sesuatu dan melakukan suatu sebab
(usaha). Apa yang ditakdirkan kepada mereka pasti akan terjadi. Mereka
berpendapat bahwa manusia terpaksa melakukan segala perbuatan mereka dan
manusia tidak mempunyai kekuasaan yang berpengaruh kepada perbuatan,
bahkan manusia seperti bulu yang ditiup angin. Maka dari itu mereka
tidak berbuat apa-apa karena berhujjah kepada takdir. Jika mereka
mengerjakan suatu amalan yang bertentangan dengan syariat, mereka merasa
tidak bertanggung jawab atasnya dan mereka berhujjah bahwa takdir telah
terjadi.
Akidah yang rusak semacam ini membawa dampak pada
penolakan terhadap kemampuan manusia untuk mengadakan perbaikan. Dan
penyerahan total kepada syahwat dan hawa nafsunya serta terjerumus ke
dalam dosa dan kemaksiatan karena menganggap bahwa semua itu telah
ditakdirkan oleh Allah atas mereka. Maka mereka menyenanginya dan rela
terhadapnya. Karena yakin bahwa segala yang telah ditakdirkan pada
manusia akan menimpanya, maka tidak perlu seseorang untuk melakukan
usaha karena hal itu tidak mengubah takdir.
Keyakinan semacam ini
telah menyebabkan mereka meninggalkan amal shalih dan melakukan usaha
yang dapat menyelamatkannya dari azab Allah, seperti shalat, puasa dan
berdoa. Semua itu menurut keyakinan mereka tidak ada gunanya karena
segala apa yang ditakdirkan Allah akan terjadi sehingga doa dan usaha
tidak berguna baginya. Lalu mereka meninggalkan amar ma'ruf dan tidak
memperhatikan penegakan hukum. Karena kejahatan merupakan takdir yang
pasti akan terjadi. Sehingga mereka menerima begitu saja kedzaliman
orang-orang dzalim dan kerusakan yang dilakukan oleh perusak, karena apa
yang dilakukan mereka telah ditakdirkan dan dikehendaki oleh Allah.
Para
ulama Ahlu Sunnah wal jamaah telah menyangkal anggapan orang-orang
sesat itu dengan pembatalan dan penolakan terhadap pendapat mereka.
Menjelaskan bahwa keimanan kepada takdir tidak bertentangan dengan
keyakinan bahwa manusia mempunyai keinginan dan pilihan dalam
perbuatannya serta kemampuannya untuk melaksanakannya. Hal ini
ditunjukkan dengan dalil-dalil baik syariat maupun akal.
DAFTAR PUSTAKA
DR. Abdul Razak, M.Ag, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung : 2009
Harun Nasution, Teologi Islam, UI-Press, Jakarta : 1986
Tidak ada komentar:
Posting Komentar